Home » » Pengertian Wasiat Wajibah Dalam KHI dan Fiqih

Pengertian Wasiat Wajibah Dalam KHI dan Fiqih

Written By Unknown on Selasa, 29 November 2016 | 08.23

1. Pengertian Wasiat Wajibah
  
Wasiat Wajibah dalam KHI Buku II Bab I Pasal 171 huruf f disebutkan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meniggal dunia.

Dasar hukum wasiat yaitu terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 180 yang berbunyi
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kerabat secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”
Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah di atas, berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.

Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :

Pertama : yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.

Kedua : orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.



2. Wasiat Wajibah Dalam KHI

Di dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam, wasiat wajibah mempunyai aspek yang lebih luas, tidak hanya masalah cucu sekandung tetapi juga mengenai hubungan anak angkat. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :

1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2)      Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Menurut pasal tersebut di atas, bahwa harta warisan seorang anak angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturannya yaitu dibagikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang menjadi ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris.

Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk wasiat wajibah menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Hakim yang yang menangani kewarisan Islam di Indonesia dilaksanakan oleh hakim-hakim dalam lingkup pengadilan agama dalam tingkat pertama sesuai dengan kompetensi absolut sebagaimana diperintahkan undang-undang. Dalam memutuskan perkara wasiat wajibah, secara para hakim pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 209 seperti yang tersebut diatas.

3. Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fiqh :

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.

Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru’ .

Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.

Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia .



Referensi

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (2008) Jakarta: Pena Pundi Aksara
Umam, Dian Khairul. Fiqh Mawaris. Bandung : CV Pustaka Media. 1999.
Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: PT Ma’arif. 1975.
Shiddiq, Abdullah. Hukum Waris Islam. Jakarta: Penerbit Widjaya. 1984.





Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

About

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Akhmeeed Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger