1. Pengertian Wasiat Wajibah
Wasiat Wajibah dalam KHI Buku II Bab I Pasal 171 huruf f
disebutkan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang
lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meniggal dunia.
Dasar hukum wasiat yaitu terdapat dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah : 180 yang berbunyi
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapak dan kerabat secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa”
Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah
di atas, berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya
wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan,
sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan
bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.
Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :
Pertama : yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia
berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua : orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum
memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan
jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.
2. Wasiat Wajibah Dalam KHI
Di dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Kompilasi Hukum Islam, wasiat wajibah mempunyai aspek yang lebih luas, tidak
hanya masalah cucu sekandung tetapi juga mengenai hubungan anak angkat.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua
angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2)
berbunyi :
1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal
176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan anak angkatnya.
2) Terhadap anak
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya.
Menurut pasal tersebut di atas, bahwa harta warisan seorang
anak angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturannya yaitu
dibagikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan yang menjadi
ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak
akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris.
Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat termasuk
wasiat wajibah menjadi kompetensi absolut dari pengadilan agama berdasarkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama berhubungan dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Pengadilan Agama. Hakim yang yang menangani kewarisan Islam di
Indonesia dilaksanakan oleh hakim-hakim dalam lingkup pengadilan agama dalam
tingkat pertama sesuai dengan kompetensi absolut sebagaimana diperintahkan
undang-undang. Dalam memutuskan perkara wasiat wajibah, secara para hakim
pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 209 seperti
yang tersebut diatas.
3. Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fiqh :
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada
ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang
yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh
Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat
yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau
kehendak si yang meninggal dunia.
Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah
diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia
lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan
kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain. Para ahli
hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada
orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa
menuntut imbalan atau tabarru’ .
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan
dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab
Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya
kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun
manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai
terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.
Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab
Syafi’i, Hanbali, dan Maliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah
suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki
sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal
dunia .
Referensi
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (2008) Jakarta: Pena Pundi
Aksara
Umam, Dian Khairul. Fiqh Mawaris. Bandung : CV Pustaka
Media. 1999.
Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: PT Ma’arif. 1975.
Shiddiq, Abdullah. Hukum Waris Islam. Jakarta: Penerbit
Widjaya. 1984.
0 komentar:
Posting Komentar