Home » » Pengertian Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i

Pengertian Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i

Written By Unknown on Senin, 28 November 2016 | 05.05



1. Pengertian Hukum Syara’
            Hukum syar’i adalah kata majemuk yang terdiri dari kata “hukum” dan “syara”. Kata hukum yang berasal dari bahasa Arab “الحكم” yang secara etimologi berarti “memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan”. sedangkan dalam arti yang sederhana dapat di katakan bahwa hukum adalah: “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang di tetapkan dan di akui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk anggotanya”. Sedangkan kata “syara” (شرع) secara etimologi berarti: “jalan, jalan yang biasa dilalui air”. Maksudnya adalah jalan yang di lalui manusia kepada Allah. Kata ini secara sederhana berarti “ketentuan Allah”.
            Apabila kata hukum di rangkaikan dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’” maka berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang di akui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam”.
            Dengan demikian terdapat perbedaan antara ahli ushul fiqh dengan ahli fiqh dalam memberikan definisi terhadap “hukum syara’”. Hukum syara menurut definisi ahli ushul ialah: “kitab Allah yang menyangkut tindak tanduk mukhlaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak; atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan”. Sedangkan definisi hukum menurut ahli fiqh ialah: “Sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terhadap orang mukhalaf itu”.
            Perbedaan peristilahan di kalangan dua kelompok ini terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqh yang fungsinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus di rumuskan menjadi hukum terperinci. Karena ia menganggap hukum itu sebagai titah Allah yang mengandung aturan tingkah laku. Sedangkan ahli fiqih yang fungsinya menjelaskan hukum yang fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci. Karena ia menganggap hukum itu adalah wajib, sunah dan sebagainya yang melekat pada perbuatan-perbuatan mukhallaf yang dikenai hukum itu.

2. Pembagian Hukum Syara’
            Bertitik tolak dari definisi hukum syar’i di atas yaitu titah Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan, maka hukum syara’ itu terbagi menjadi dua:
                 1.  Hukum taklifi
Dari kalangan ushul fiqh, seperti yang dikemukakan oleh Iyad Hilal (2005: 10) di peroleh keterangan, bahwa titah-titah agama yang masuk ke dalam taklifi ada lima macam yaitu:
A.    Ijab (Mewajibkan)
Yaitu titah yang mengandung suruhan yang mesti di kerjakan. Umpamanya firman Allah SWT.:
وعبدواالله
Sembahlah Allah.
Berkesan ijab disebut qujub dan pekerjaan yang dikenai hukum wujub disebut wajib, karena kata u’budu adalah fi’il amar, yang berarti perintah dan harus di kerjakan. Atau lebih ringkasnya Wajib ialah suatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa kalau tidak di kerjakan.
      Adapun wajib dibagi kepada beberapa bagian, sebagai berikut.  
Wajib yang di pandang dari segi waktu pelaksaanya ada dua macam yaitu: wajib mutlak dan wajib mu’aqat.



a)      Wajib mutlaq, yaitu Wajib yang terikat dengan waktu pelaksanaanya, seperti mengqodho puasa ramadhan yang di tinggalkan karena ada halangan, seperti sakit. Pendapat tersebut menurut Abu Hanifah, sedangkan munurut Imam Syafi’i, mengqodho puasa itu diatasi dalam tahuan puasa yang bersangkutan, dan kalau orang mengqodho puasa pada tahun berikutnya akan ada sanksi yaitu harus membayar fidyah di samping harus mengqodhonya.
b)      Wajib mu’aqqat, yaitu wajib yang di batasi waktu pelaksaanya, dan wajib ini ada dua macam:
1)      Wajib Muwassa’ artinya Wajib  yang longgar waktu pelaksaanya, seperti mengerjakan sholat fardhu lima waktu, bisa awal waktu sampai akhir waktu.
2)      Wajib Mudhayyad artinya wajib yang waktu pelaksaanya di batasi, seperti puasa bulan ramadhan, yang tidak bisa di tunda pelaksaanya, serta puasa yang dilakukan hanya untuk puasa ramadhan saja tidak untuk puasa yang lain.

Wajib yang di pandang dari segi tertentu atau ada tidaknya kewajiban yang di tuntut ada dua macam:
1)      Wajib mu’ayyan, ialah kewajiban yang di tuntut hanya satu saja, tidak ada pilihan lain selain kewajiban, seperti membayar utang dan membayar zakat.
2)      Wajib mukhayyar, ialah kewajiban yang di tuntut itu lebih dari satu, tetapi dalam pelaksanaanya bisa memilih salah satu diantaranya. Seperti orang menunaikan ibadah haji boleh memilih dianatara tiga macam haji berikut: haji ifrad, dengan cara niat melakukan ibadah haji pada waktu mulai ihram, haji tamattu’, dengan cara niat umrah dahulu, dan setelah tahallul kemudian niat haji pada bulan-bulan haji, atau haji qiran dengan cara niat melakukan haji dengan umrah sekaligus. (masfuk Zuhdi).

Wajib di pandang siapa yang melakukanya ada dua macam:
1)      Wajib ‘Aini, ialah wajib yang ditunjuk kepada setiap individu, sehingga siapapun yang meninggalkan kewajiban itu berdosa dan akan mendapatkan hukuman, contoh kewajiban sholat, puasa, zakat, dan kewajiban memberi setiap orang apa yang menjadi haknya.
2)      Wajib Kifaiyah, ialah wajib yangg ditunjukan kepada masyarakat umum, tetapi jika sebagian anggota masyarakat sudah ada yang mengerjakan kewajiban itu, maka gugurlah kewajiban itu bagi masyarakat lainya. Contoh, solat jenazah, solat amar ma;ruf nahi munkar, belajar menjadi ahli agama dan sebagainya. (Abu Zahrah)


B.     Nadab (Mandub/Sunnah)
Mandub dari segi lughowi adalah: Seruan untuk sesuatu yang penting. Adapun dalam arti definitif adalah: “sesuatu yang di tuntut untuk memperbuatnya secara hukum syar’i tanpa ada celaan terhadap orang yang meniggalkanya secara mutlak”.
Mandub (sunnah) dapat dibagi dalam beberapa segi, yaitu:
1)      Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melakukan perbuatan sunnah.
a.       Sunnah Muakkadah.
Yaitu perbuatan yang selalu di lakukan oleh Nabi di samping ada keterangan yang menunjukan perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu. Contohnya  solat witir, solat dua rokaat fajar sebelum sholat subuh.
b.      Sunnah Ghair Muakkad.
Yaitu perbuatan yang pernah di lakukan oleh nabi, tetpai Nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian. Contohnya  memberikan sedekah untuk orang miskin.
2)      Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, mandub atau sunah terbagi menjadi dua:
a.       Sunnah Hadyu
Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukan karena begitu besar faidah yang di dapatkanya darinya dan orang yang meningaalkan dinyatakan sesat dan tercela; bahkan apabila suatu kelompok terus menurus meninggalkanya maka harus di peringangi. Contohnya shalat berjamaah, solat hari raya. Dari segi pahalanya maka sunah ini disbut sunah muakad.
b.      Sunnah Zaidah
Yaitu sunnah yang apabila di lakukan mukhallaf itu baik tapi bila di tinggalkan yang meninggalkanya tidak mendapat sanksi apa-apa; seperti cara yang di lakukan Nabi sehari-hari. Sunnah zaidah ini tempatnya berada di bawah sunnah ghoiru muakkadah.
c.       Sunnah Nafal
Yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib, seperti sholat sunnah dua rokaat yang mengiringi sholat wajib, wittir dan lainnaya yang dalam istilah lain disebut sunah ghori muakkadah
(Amir Syarifudin, 1997: 306).
C.     Ibahah (Mubah)
Yaitu khitab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan anatara berbuat baik dan tidak berbuat secara sama. (Susiadi AS, 2010: 70). Adapun Imam Asyaukani memberikan arti:”Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakanya dan meninggalkanya”. Sedangkan Muhammad Khudari mengartikan:”Apa yang di beri hak pilih untuk melakukan atau meninggalkan tanpa ada pujian begitu pula celaan”.
Sehubungan dengan apa yang di jelaskan di atas, Al Syatibi membagi mubah menjadi empat macam:
1)  Mubah yang mengikuti suruhan untuk berbuat. Mubah dalam bentuk ini disebut sebagai mubah dalam bentuk bagian, tetapi di tuntut berbuat secara keseluruhan. Umpamanya makan dan kawin. Mubah dalam bentuk ini tidak boleh ditinggalkan secara menyeluruh.
2)   Mubah yang mengikuti tuntutan untuk meningaalkan. Mubah dalam bentuk ini disebut: “mubah secara juz’i tetapi dilarang secara keseluruhan” umpamanya bermain. Bermain hukumnya mubah akan tetapi apabila dilakukan sepanjang waktu maka hukumnya haram.
3) Mubah yang tidak mengikuti sesuatu. Mubah dalam bentuk ini dituntut juga untuk meninggalkan karena berarti ia mengikuti sesuatu yang menghabiskan sesuatu tanpa ada manfaat agama, maupun dunia.
4)   Mubah yang tuntuk pada mubah itu sendiri. Keadaanya adalah sebagaimana nomor 3 diatas, juga di tuntut untuk meninggalkanya.
D.    Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan, tetapi tuntutan itu di ungkapkan melalui redaksi yang bersifat memaksa. Seseorang yang melakukan perbuatan yang di tuntut untuk ditinggalkan itu tidak di kenai hukum.karahah merupakan kebalikan dari nadab.
Adapun ulama hanafiah membagi membagi makrukh kedalam dua bentuk, yaitu:
1)      Makruh Tahrim, yaitu tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tapi dalil yang menunjukan bersifat zhanni. Makruh Tahrim ini kebalikan dari wajib sekaligus kebalikan fardhu di kalangan jumhur ulama.
2)      Makruh Tanzih, yaitu kebalikan dari hukum mandub. Perbedaan dua bentuk makrukh menurut ulama hanafiah keliahatan kepada hukum orang yang tidak mematuhinya tersebut. Orang yang melanggar makruh tahrim mendapat dosa, akan tetapi orang yang yang melanggar makruh tanzih tidak mendapat dosa, akan tetapi orang yang mematuhi larangan tersebut sama-sama mendapat pahala.
E.     Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan sesuatu perbuatan dengan tuntutan memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut haram.
Adapun ulama hanafiah memisahkan antara larangan yang di tetapkan dengan dalil qath’i  dan yang di tetapkan dengan dalil zhanni. Dalam hal ini ulama hanafiah membagi larangan yang pasti itu terbagi menjadi dua:
1)      Larangan yang pasti yang di tetapkan dengan dalil yang qath’i yang tidak di ragukan kebenaranya. Inilah yang dinamakan haram oleh ulama hanafiah. Umpamanya memakan bangkai dan babi.
2)      Larangan yang pasti yang ditetapkan dengan dalil yang zhanni seperti hadist ahad disebut makruh tahrim. Abu hanafiah dan murid-muridnya menggunakan kata tahrim untuk menghindarkan kata haram. Meskipun di belakangnya juga masih di sebutkan kata “tahrim”. Umpamanya memakan keledai jinak yang ditetapkan oleh hadis nabi yang tidak mutawatir.

Prinsipnya, dalam penetapan hukum haram bagi yang di larang adalah karena adanya sifat mudharat dalam perbuatan yang dilarang itu. Allah tidak mengharamkan sesuatu kecuali terdapat unsur merusak menurut biasanya. Haram dalam pengertian ini dibagi menjadi:
1)      Haram Zati
Yaitu sesuatu yang di sengaja Allah yang di haramkan karena adanya unsur perusak yang langsung mengenai dharuriyat yang lima. Contohnya haramnya meminum khamar karena langsung mengenai akal.
2)      Haram ‘Ardhi atau Ghoiru Zati
Yaitu haram yang bukan karena zatnya. Artinya tidak mengenai satupun dari lima dharuriyat tersebut. Contohnya melihat aurat perempuan yang akan dapat membawa kepada zina, penipuan yang akan membawa pada pencurian. (Amir Syarifudin: 1997, 310).
           
            Ulama hanafiah hukum taklifi itu ada 7 macam, yaitu: iftiradh, ijab, nadab, ibahah, karahah tanziliyah, karahah tahrimiyah, dan tahrim.

2.              2. Hukum Wad’iy
        Hukum Wad’iy ialah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukan atas kaitan  sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat, atau penghalang, maka ia desibut hukum wad’iy.


A.    Sebab dan macamnya
Sebab menurut jumhur ulama ialah sesuatu yang tampak yang di jadikan hukum oleh agama.
1)      Sebab yang bukan merupakan hasil perbuatan manusia, yang dijadikan Allah sebagai tandanya hukum, seperti waktu sholat sudah tiba menjadi sebab wajib sholat, seperti firman Allah dam surah Al-Israa’ 78: “dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir….” (Al-Israa’: 78)
Ayat diatas menunjukan tergelincirnya matahari (masuk waktu) shalat menjadi sebab wajib shalat.

2)      Sebab yang merupakan hasil perbuatan manusia, ialah perbuatan orang mukkhallaf yang menebabkan agama menetapkan akibat-akibat hukumnya. Misalnya, mengadakan perjalanan jauh pada bulan ramadhan menjadi sebab rukhsah (dispensasi) tidak wajib puasa. Contoh lainya akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami istri

B.     Syarat dan macamnya
Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum (Abd Wahab Khallaf: 188), yang berarti ada dan tidaknya hukum tergantung pada ada dan tidaknya syarat, tetapi adanya syarat belum tentu adanya hukum.
Sebenernya antara syarat dan sebab ada perbedaan, adanya syarat belum tentu adanya hukum. Misalnya, adanya wudu’ yang menjadi syarat syah nya solat tetapi belum tentu ada kewajiban shalat. Dan jugaadanya dua orang saksi dalam perkawinan belum tentu adanya perkawinan. Sedangkan adanya sebab tentu timbul hukumnya, kecuali kalau ada mani’ misalnya kalau sudah masuk waktu sholat maka wajiblah shalat, kalau masuk bulan ramadhan maka wajiblah berpuasa.
1)      Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti jatuh tempo yang menyempurnakan zakat menjadi sayarat wajib untuk mengeluarkan zakat atas harta benda yang telah sampai nisabnya. Contoh lain Allah  yang menjadikan sesuatu sebagai syarat: “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (Dewasa)..”(An-Nisaa’: 6)

2)      Syarat yang menyempurnakan musabab,seperti wudu’ dan menghadap kiblat merupakan syarat menyempurnakan hakikat shalat.

C.     Mani’ dan Macamnya
Mani’ (Penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaanya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum. (Abu Zahrah). Menurut Asyatibi, mani’ ialah sebab menimbulkan ‘illat atau keadaan yang meniadakan hikmah hukumnya. Misalnya, sebab wajib zakat ialah harta yang dimilikinya telah mencapai nisab. Diantara mani’ yang menghalangi kewajiban zakat, ialah adanya piutang yang jumlahnya bisa mengurangi nisabnya, karena adanya utang itu dapat menghilangkan hikmah wajib zakat.
Secara garis besar mani’ itu ada dua macam:
1)      Mani’ yang menghalangi sebab, seperti pembunuhan menghalangi waris, karena penyebab hak waris adanya hubungan kerabat atau perkawinan dengan si mati.
2)      Mani’ yang membebaskan hukum taklifi, misalnya karena gila, sebab orang gila bukanlah mukhallaf, selama ia dalam keadaan gila. Karena itu ia tidak wajib mengqadla hukum-hukum taklifi yang dikerjakanya. Atau mani’ yang membebaskan hukum taklifi, sekalipun masih mungkin melakukan hukum taklifi. Misalnya wanita yang sedang menstruasi atau habis melahirkan tidak wajib shalat, bahkan dilarang shalat, sekalipun fisik dan mentalnya melakukan shalat. Ada juga mani’ yang tidak membebaskan samasekali hukum taklifi, tetapi ada yang mendapat keringanan dari tuntutan yang pasti kena mubah. Contohnya orang yang sakit tidak melakukan shalat jumat, akan tetapi apabila ia melakukan shalat jumat maka sahlah solatnya. (Susiadi: 2010, 77). 

Daftar Pustaka
Susiadi. Ushul Fiqh I. Bandar Lampung: Fakultas Syariah IAIN Raden Intan  Lampung. 2010.
Amir Syarifudin. Ushul Fiqih I. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu. 1997

Ahmad Sanusi, Sohari. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2015
   
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

About

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Akhmeeed Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger