Home » » Hak Milik atau Kepemilikan Dalam Islam

Hak Milik atau Kepemilikan Dalam Islam

Written By Unknown on Senin, 12 Desember 2016 | 06.39

“Kepemilikan” sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka” yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab “milk” berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syariah”.
Ibn Taimiyah mendefinisikan sebagai “ sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. “ Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.
Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).

A. Pandangan Islam terhadap Kepemilikan
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
“Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيه
“Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…”
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “pada mulanya” masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara’ yang tertuang dalam al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ sahabat dan al-Qiyas. Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid al-’ammah al-iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:
1. kepemilikan (al-milkiyyah),
2. mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
3. distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi’ al-tharwah bayna al-nas).

B. Klasifikasi Hak Milik
1. Kepemilikan Individu (Private Property)
Hak milik individu adalah hak syara’ untuk seseorang, sehingga orang tersebut boleh memiliki kekayaan yang bergerak maupun kekayaan tetap. Adalah fitrah manusia, jika dia terdorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu juga merupakan fitrah, jika manusia berusaha memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, serta berusaha untuk bekerja agar bisa memperoleh kekayaan tadi. Sebab, keharusan manusia untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu kemestian, yang tidak mungkin dipisahkan dari dirinya.
Maka, usaha manusia untuk memperoleh kekayaan, disamping merupakan masalah yang fitri, hal itu juga merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, dalam memperoleh kekayaan tersebut tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya. Islam hadir dengan membolehkan kepemilikan individu serta membatasi kepemilikan tersebut dengan mekanisme tertentu, bukan dengan cara pemberangusan (perampasan).
Sehingga dengan begitu, cara (mekanisme) tersebut sesuai dengan fitrah manusia serta mampu mengatur hubungan-hubungan antarpersonal di antara mereka. Islam juga telah menjamin manusia agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara menyeluruh. Adapun pembatasan kepemilikan dengan menggunakan mekanisme tertentu itu nampak pada beberapa hal berikut ini:

a) Dengan cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak milik.
b) Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.
c) Dengan cara menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik negara, bukan sebagai hak milik individu.
d) Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
e) Dengan cara men-supply orang yang memiliki ketebatasan faktor produksi, sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

2. Kepemilikan Umum (Collective Property) 
Kepemilikan umum adalah izin as-syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk katagori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh as-syari’ bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan as-syari’ melarang benda tesebut dikuasai oleh hanya seorang saja. Benda-benda tampak pada tiga macam, yaitu:

a) Yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
b) Bahan tambang yang tidak terbatas.
c) Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.

Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw. Telah menjelaskan dalam sebuah hadits, dari segi sifat fasilitas umum tersebut, bukan dari segi jumlahnya. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW. Berabda: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang dan api.” (H.R. Abu Daud). Anas meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan: wa tsamanuhu haram (dan harganya haram). Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. Bersabda: “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun) yaitu air, padang dan api.”
Oleh karena itu jelas, bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas apa pun komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu negeri, maka komunitas tersebut akan bersengketa dalam rangka mendapatkannya. Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum. Contohnya, sumber-sumber air, kayu-kayu bakar, padang gembalaan hewan, dan sebagainya.
Adapun bahan tambang yang tidak tebatas jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah SAW Untuk mengelola tambang garamnya. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya.” Benda-benda yang merupakan milik umum ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.

3. Kepemilikan Negara (State Property)
Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi pandangannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah, adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya. Inilah kepemilikan. Karena makna kepemilikan adalah, maka tiap hak milik yang pengelolaannya tergantung pada pandangan dan ijtihad khalifah, maka hak milik tersebut dianggap sebagai hak milik negara. Zakat tidak termasuk hak milik negara, melainkan milik ashnaf delapan yang telah ditentukan oleh syara’. Baitul mal hanya menjadi tempat penampungannya, sehingga bisa dikelola mengikuti obyek-obyeknya.

Nasionalisasi merupakan penambalan-penambalan sistem kapitalis, yaitu memindahkan hak milik individu menjadi hak milik negara. Apabila negara melihat, bahwa disana terdapat kemaslahatan umum yang mengharuskan untuk memiliki harta yang dimiliki secara pribadi. Negara tidak memaksakan nasionalisasi, namun negara memberikan pilihan. Apabila negara berkeinginan, maka bisa saja menasionalisasikan, namun bisa juga sebaliknya membiarkan harta tersebut tanpa dinasionalisasikan.


 Terimakasih meluangkan waktu untuk membaca hak milik ekonomi islam, atau kepemilikan dalam ekonomi islam, klasifikasi kepemilikan, hak milik dalam pandangan islam.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

About

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Akhmeeed Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger