“Kepemilikan” sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata
“malaka” yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab “milk” berarti kepenguasaan
orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam
genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas
sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan
keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali
dengan alasan syariah”.
Ibn Taimiyah mendefinisikan sebagai “ sebuah kekuatan yang didasari
atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat
bervariasi bentuk dan tingkatannya. “ Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat
lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau
menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif.
Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu
terbatas.
Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.
Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).
A. Pandangan Islam terhadap Kepemilikan
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan
mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini,
Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi
juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat manusia
baik dalam kehidupan spiritual maupun material.
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala
macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala
yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ
مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
“Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara
keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah
SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
ءَامِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيه
“Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…”
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya
hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai
dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan harta
maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya
digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa “pada mulanya” masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut
secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi
(dan institusi) yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru
dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk
memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta haruslah
didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara’ yang tertuang dalam al-Qur’an,
al-Sunnah, ijma’ sahabat dan al-Qiyas. Sebagai sebuah sistem tersendiri,
ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan mekanisme
perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta
cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail
melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang
menyangkut masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum
ekonomi Islam (al-qawaid al-’ammah al-iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga
kaidah, yakni:
1. kepemilikan (al-milkiyyah),
2. mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal)
dan
3. distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi’ al-tharwah
bayna al-nas).
B. Klasifikasi Hak Milik
1. Kepemilikan Individu (Private Property)
Hak milik individu adalah hak syara’ untuk seseorang, sehingga
orang tersebut boleh memiliki kekayaan yang bergerak maupun kekayaan tetap.
Adalah fitrah manusia, jika dia terdorong untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu juga merupakan fitrah, jika manusia
berusaha memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, serta
berusaha untuk bekerja agar bisa memperoleh kekayaan tadi. Sebab, keharusan
manusia untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu kemestian, yang tidak
mungkin dipisahkan dari dirinya.
Maka, usaha manusia untuk memperoleh kekayaan, disamping merupakan
masalah yang fitri, hal itu juga merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, dalam
memperoleh kekayaan tersebut tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia,
agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk
mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya.
Islam hadir dengan membolehkan kepemilikan individu serta membatasi kepemilikan
tersebut dengan mekanisme tertentu, bukan dengan cara pemberangusan
(perampasan).
Sehingga dengan begitu, cara (mekanisme) tersebut sesuai dengan
fitrah manusia serta mampu mengatur hubungan-hubungan antarpersonal di antara
mereka. Islam juga telah menjamin manusia agar bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya secara menyeluruh. Adapun pembatasan kepemilikan dengan
menggunakan mekanisme tertentu itu nampak pada beberapa hal berikut ini:
a) Dengan cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh
kepemilikan dan pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan
yang telah menjadi hak milik.
b) Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.
c) Dengan cara menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik negara,
bukan sebagai hak milik individu.
d) Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara
paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
e) Dengan cara men-supply orang yang memiliki ketebatasan faktor
produksi, sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang ada.
2. Kepemilikan Umum (Collective Property)
Kepemilikan umum adalah izin as-syari’ kepada suatu komunitas untuk
sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk katagori
kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh as-syari’ bahwa
benda-benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka masing-masing saling
membutuhkan, dan as-syari’ melarang benda tesebut dikuasai oleh hanya seorang
saja. Benda-benda tampak pada tiga macam, yaitu:
a) Yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di dalam
suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam
mencarinya.
b) Bahan tambang yang tidak terbatas.
c) Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk
dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai
kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw. Telah menjelaskan dalam sebuah
hadits, dari segi sifat fasilitas umum tersebut, bukan dari segi jumlahnya.
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW. Berabda: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga
hal, yaitu air, padang dan api.” (H.R. Abu Daud). Anas meriwayatkan hadis dari
Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan: wa tsamanuhu haram (dan harganya
haram). Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw.
Bersabda: “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun)
yaitu air, padang dan api.”
Oleh karena itu jelas, bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan
umum adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas apa pun
komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu negeri, maka
komunitas tersebut akan bersengketa dalam rangka mendapatkannya. Oleh karena
itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum. Contohnya, sumber-sumber
air, kayu-kayu bakar, padang gembalaan hewan, dan sebagainya.
Adapun bahan tambang yang tidak tebatas jumlahnya, yang tidak
mungkin dihabiskan, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective
property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa
ia telah meminta kepada Rasulullah SAW Untuk mengelola tambang garamnya. Lalu
Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis
tersebut bertanya: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan
kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air
mengalir.” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya.”
Benda-benda yang merupakan milik umum ini meliputi jalan, sungai, laut, danau,
tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Juga bisa disetarakan dengan
hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan,
tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
3. Kepemilikan Negara (State Property)
Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin,
sementara pengelolaannya menjadi pandangannya. Makna pengelolaan oleh khalifah
ini adalah, adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya. Inilah
kepemilikan. Karena makna kepemilikan adalah, maka tiap hak milik yang
pengelolaannya tergantung pada pandangan dan ijtihad khalifah, maka hak milik
tersebut dianggap sebagai hak milik negara. Zakat tidak termasuk hak milik
negara, melainkan milik ashnaf delapan yang telah ditentukan oleh syara’.
Baitul mal hanya menjadi tempat penampungannya, sehingga bisa dikelola
mengikuti obyek-obyeknya.
Nasionalisasi merupakan penambalan-penambalan sistem kapitalis,
yaitu memindahkan hak milik individu menjadi hak milik negara. Apabila negara
melihat, bahwa disana terdapat kemaslahatan umum yang mengharuskan untuk
memiliki harta yang dimiliki secara pribadi. Negara tidak memaksakan
nasionalisasi, namun negara memberikan pilihan. Apabila negara berkeinginan,
maka bisa saja menasionalisasikan, namun bisa juga sebaliknya membiarkan harta
tersebut tanpa dinasionalisasikan.
Terimakasih meluangkan waktu untuk membaca hak milik
ekonomi islam, atau kepemilikan dalam ekonomi islam, klasifikasi kepemilikan,
hak milik dalam pandangan islam.
0 komentar:
Posting Komentar