Home » » Pengertian Al-Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaihi

Pengertian Al-Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaihi

Written By Unknown on Minggu, 27 November 2016 | 05.30

                        1. Pengertian Hakim
                        Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian:
وا ضع الاحكام ومثبتها ومنثئها ومصدرها
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
الذي يدرك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.
Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan peraturannya kepada para Rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk sunnah. (Totok Jumantoro, 2007: 76).
Para ulama berprinsip:
ان الحكم الالله
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (QS. Al-An’am [6]: 57).
Berdasarkan pernyataan di atas, maka ahli ushul menetapkan bahwa hukum syara’ ialah
حطا ب الله المتعلق بافعال المكلفين طلبا او تخيرا او وضعا
Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan atau boleh pilih atau penetapan sesuatu sebagai syarat, sebab atau mani’.
Pernyataan di atas didasarkan firman Allah SWT:
إن الحكم إلالله يقص الحق وهو خير الفصلين
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik. (QS. Al-An’am [6]: 57)


2. Mahkum Fih
          A.    Pengertian
       Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120). Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
          B.     Syarat-Syarat
a)    Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
b)    Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
c)  Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
1)      Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2)      Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3)      Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4)      Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)

Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:
a)      Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
b)      Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
c)      Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
d)     Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).
          C.     Macam-Macam Mahkum Fih
1)      Di tinjau dari secara material dan syara’
a)      Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
b)      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
c)       Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.

2)      Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a)      Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
b)      Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
c)       Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.
d)      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007: 331)

3. Mahkum Alaihi
       A. Pengertian
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.

       B. Syarat-Syarat
a)      Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.
b)      Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

About

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Akhmeeed Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger