1. Pengertian Hakim
Hakim
secara etimologi, mempunyai dua pengertian:
وا
ضع الاحكام ومثبتها ومنثئها ومصدرها
Pembuat, yang menetapkan, yang
memunculkan dan sumber hukum.
الذي
يدرك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, menjelaskan,
memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.
Adapun yang menetapkan
hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan peraturannya kepada para Rasul,
baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk sunnah. (Totok Jumantoro, 2007: 76).
Para ulama berprinsip:
ان
الحكم الالله
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik
Allah (QS. Al-An’am [6]: 57).
Berdasarkan pernyataan
di atas, maka ahli ushul menetapkan bahwa hukum syara’ ialah
حطا
ب الله المتعلق بافعال المكلفين طلبا او تخيرا او وضعا
Firman Allah yang berhubungan dengan
perbuatan para mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan atau boleh pilih atau
penetapan sesuatu sebagai syarat, sebab atau mani’.
Pernyataan di atas
didasarkan firman Allah SWT:
إن
الحكم إلالله يقص الحق وهو خير الفصلين
Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik
Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik. (QS.
Al-An’am [6]: 57)
2. Mahkum Fih
A.
Pengertian
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang
menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang
harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120).
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum,
yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang
bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan,
dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal
(Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan
atau dibebani dengan hukum syar’i.
B. Syarat-Syarat
a) Mukallaf
mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat
dilaksanakan.
b) Mukallaf
harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah
SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya
karena Allah semata.
c) Perbuatan
harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
1)
Tidak
sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan
baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2)
Tidak
sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama
orang lain.
3)
Tidak
sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah
manusia.
4)
Tercapainya
syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai
masalah yang lain sebagaimana berikut:
a)
Sanggup
mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh
mukallaf.
b)
Pekerjaan
yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu
tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
c)
Pekerjaan
yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti
sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak
sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada
yang biasa.
d)
Pekerjaan-pekerjaan
yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa
(Sutrisno, 1999: 121-123).
C.
Macam-Macam
Mahkum Fih
1)
Di tinjau dari secara material dan syara’
a) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan
yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
b) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum
syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
c) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta
mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan
sewa-menyewa.
2)
Sedangkan
dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi
dalam empat bentuk, yaitu:
a) Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut
kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
b) Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang,
seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
c) Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah
didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh
orang lain berbuat zina.
d) Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba
didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007: 331)
3. Mahkum Alaihi
A.
Pengertian
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi
obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh
telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai
kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan
lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan
tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi, secara singkat dapat
disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya
menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.
B. Syarat-Syarat
a)
Orang
tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan
perantara orang lain.
b)
Orang
tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)
0 komentar:
Posting Komentar